1.Diagram Siklus Hidup Produk: Deterjen Cair

Produk: Deterjen cair berbahan surfaktan minyak bumi & surfaktan nabati

Batas sistem: mencakup seluruh rantai proses mulai dari ekstraksi bahan baku, produksi formulasi deterjen, pembuatan kemasan, distribusi, penggunaan oleh konsumen, hingga pengelolaan limbah. Analisis mencakup konsumsi energi, transportasi, emisi, limbah, dan potensi daur ulang kemasan.


Asumsi Sistem:

  • Masa pakai produk: ±1 bulan per botol (800–1000 ml)
  • Bahan utama: surfaktan linear alkylbenzene sulfonate (LAS), alcohol ethoxylate, air, enzim pengangkat noda, pewangi, pewarna
  • Jenis kemasan: botol plastik HDPE dengan tutup flip-top
  • Skenario akhir hayat: 35% botol didaur ulang, 65% masuk ke TPA
  • Transportasi: truk berbahan bakar solar
  • Energi pabrik: listrik PLN (dominasi batu bara)

 

2. Narasi Analisis

Produk yang dianalisis adalah deterjen cair yang digunakan untuk mencuci pakaian di rumah tangga. Pemilihan deterjen cair sangat relevan dengan isu lingkungan karena produk ini dipakai setiap hari dan menghasilkan limbah surfaktan yang masuk ke perairan. Selain itu, deterjen cair menggunakan botol plastik sekali pakai yang menjadi penyumbang sampah rumah tangga cukup besar.

Batas Sistem

Analisis mencakup seluruh rantai mulai dari pengambilan bahan baku hingga pembuangan limbah. Transportasi, konsumsi energi, proses produksi, pemakaian, serta daur ulang kemasan termasuk dalam batas sistem. Dengan demikian, seluruh potensi dampak dapat terlihat secara menyeluruh.

Tahap 1: Ekstraksi Bahan Baku

Tahap awal produksi deterjen melibatkan pembuatan surfaktan yang umumnya berasal dari minyak bumi seperti LAS (Linear Alkylbenzene Sulfonate). Proses ini memiliki jejak karbon tinggi karena melibatkan eksplorasi minyak, penyulingan, dan reaksi kimia intensif energi. Alternatif surfaktan seperti Alkyl Polyglucoside (APG) dari minyak kelapa atau glukosa lebih ramah lingkungan, tetapi tetap membutuhkan energi dalam proses ekstraksi. Bahan tambahan seperti enzim, builder, dan parfum sintetis juga dihasilkan melalui proses kimia industri yang menghasilkan limbah dan emisi CO₂.

Tahap 2: Produksi

Pada tahap produksi, bahan-bahan dicampur dan dipanaskan untuk membentuk formula deterjen cair. Listrik dari PLN (berbasis batu bara) digunakan untuk menjalankan mixer, pompa, dan proses homogenisasi. Limbah cair berasal dari pencucian tangki, selang, dan mesin produksi. Botol HDPE diproduksi dari bahan petrokimia yang membutuhkan energi tinggi dan menghasilkan emisi karbon.

Tahap 3: Distribusi

Produk didistribusikan dari pabrik ke distributor hingga ke pengecer dengan menggunakan truk berbahan bakar solar. Emisi CO₂, NOx, dan partikulat dari proses distribusi berkontribusi pada polusi udara dan perubahan iklim. Jarak distribusi yang jauh meningkatkan jejak karbon deterjen.

Tahap 4: Konsumsi

Pada tahap penggunaan, deterjen menghasilkan limbah cair yang masuk ke sistem pembuangan rumah tangga. Limbah ini mengandung surfaktan, fosfat, parfum sintetis, dan sisa-sisa bahan kimia lain yang dapat mengganggu ekosistem air jika tidak diolah oleh IPAL. Selain itu, proses mencuci membutuhkan banyak air, sehingga menambah beban pada sumber daya air.

Tahap 5: Pengelolaan Limbah

Botol HDPE yang digunakan sebagai kemasan menjadi limbah setelah deterjen habis. Sebagian kecil didaur ulang, tetapi sebagian besar berakhir di TPA. Plastik yang tidak terkelola dapat menjadi mikroplastik dan mencemari lingkungan. Residu deterjen yang terbuang turut berkontribusi terhadap eutrofikasi perairan.

Refleksi Pribadi 

Hasil analisis siklus hidup deterjen cair memberikan gambaran bahwa produk sederhana yang digunakan sehari-hari ternyata memiliki jejak lingkungan yang jauh lebih besar dari yang saya bayangkan. Hal yang paling mengejutkan bagi saya adalah bahwa dampak terbesar justru bukan hanya pada limbah setelah produk digunakan, tetapi berasal dari tahap awal, yaitu proses ekstraksi bahan baku surfaktan berbasis minyak bumi. Proses ini tidak hanya menyumbang emisi gas rumah kaca, tetapi juga melibatkan energi tinggi dan potensi pencemaran kimia. Selain itu, saya baru menyadari bahwa botol plastik HDPE yang tampak kecil ternyata memberikan kontribusi signifikan terhadap timbulan sampah, terutama karena tingkat daur ulangnya yang masih rendah di Indonesia.

Melihat siklus hidup produk ini, saya merasa bahwa desain deterjen cair dapat diperbaiki dengan lebih menekankan pada prinsip eco-design. Produk dapat dibuat lebih ramah lingkungan dengan menggunakan surfaktan nabati, menurunkan kandungan bahan kimia berbahaya, dan menyediakan opsi kemasan isi ulang dalam volume besar. Kemasan botol dapat menggunakan material daur ulang atau deposit-return system agar tidak langsung menjadi sampah.

Sebagai konsumen, saya juga memiliki peran penting dalam mengurangi dampak lingkungan. Saya dapat memilih produk yang ramah lingkungan, menggunakan deterjen dengan takaran sesuai kebutuhan, membeli kemasan refill, serta memastikan botol plastik masuk ke jalur daur ulang. Dengan perubahan perilaku kecil namun konsisten, saya dapat membantu menurunkan dampak lingkungan dari produk yang saya gunakan setiap hari.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Efisiensi ke Keberlanjutan: Sebuah Renungan tentang Tugas Insinyur Industri

Hubungan Manusia, Teknologi, dan Alam dalam Sistem Industri Laundry Kiloan